News
Minggu, 18 Oktober 2015 - 03:10 WIB

BENCANA JATENG : Lepas Kemarau Panjang, 32 Daerah di Jateng Rawan Banjir

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Banjir di Pucang Sawit, Solo, Jumat (20/2/2015) (Istimewa/Rido T/Dishub Solo)

Bencana di Jateng pascakemarau panjang memiliki risiko cukup besar.

Solopos.com, SOLO — Dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah (Jateng), 32 di antaranya rawan bencana banjir. Sementara, wilayah di Jateng yang dinilai paling aman dari risiko bencana adalah Kota Salatiga. Tapi, wilayah yang memiliki risiko bencana paling tinggi adalah Cilacap dan Banyumas.

Advertisement

Hal itu diungkapkan Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo, dalam Seminar Penguatan Ketangguhan Indonesia melalui Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dalam rangka Peringatan Bulan PRB Nasional 2015 di The Sunan Hotel, Sabtu (17/10/2015) sore. Saat itu, ia menjadi salah satu narasumber dalam seminar tersebut.

Dalam seminar itu, ia juga membeberkan urutan jumlah daerah di Jateng yang memiliki risiko bencana. Banjir berisiko terjadi di 32 kabupaten/kota, longsor di 29 kabupaten/kota, kekeringan di 27 wilayah, tsunami di empat wilayah, gempa bumi di 14 kabupaten/kota, dan gunung api di 11 wilayah.

Banyaknya wilayah yang rawan bencana itu membuatnya berpikir untuk mengajukan alokasi anggaran di bidang PRB. Menurutnya, hidup di wilayah bencana harus melakukan persiapan sedini mungkin dan bukan hanya saat terjadi bencana.

Advertisement

Tak hanya bencana alam, ia juga berupaya memperhatikan risiko kebakaran di pasar tradisional yang terkadang disepelekan. “Pasar tradisional memiliki risiko tinggi terjadinya kebakaran terutama saat musim kemarau. Terkadang hal ini disepelekan karena dianggap kelalaian manusia. Untuk mengantisipasi itu, kami berupaya bekerja sama dengan PLN [Perusahaan Listrik Negara] untuk pantauan intensif di pasar,” katanya.

Di dalam upaya pengurangan risiko bencana itu, Ganjar Pranowo juga mengintensifkan pantauan melalui media sosial dan kearifan lokal. Meskipun ada kebijakan, katanya, tetap melibatkan masyarakat untuk mengetahui keinginan mereka terutama yang tinggal di wilayah rawan bencana.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu Kementerian Desa Tertinggal, Pembangunan Daerah, dan Transmigrasi, Suprayoga Hadi, mengatakan PRB kini menjadi prioritas nasional. Namun, masih ada pimpinan daerah yang belum menyadari pentingnya PRB.

Advertisement

“Tidak banyak orang seperti Pak Ganjar yang peduli pada PRB. Bahkan, dana APBN yang dialokasikan untuk bencana hanya 0,7 persen dari total anggaran. Sementara, di kabupaten/kota dana untuk PRB tak lebih dari 0,2 persen. Ini kan masih minim,” katanya saat menjadi narasumber dalam acara yang sama.

Padahal, lanjut dia, saat ini ada program daerah tangguh bencana untuk provinsi dan kabupaten/kota. Tapi, itu belum bisa maksimal jika belum ada tiga hal penting yang harus dilakukan pemerintah daerah. Pertama, regulasi atau bagaimana fokus pemerintah daerah untuk memberikan pemahaman pada masyarakat tentang bencana.

Kedua adalah institusi atau posisi berbagai lembaga di Indonesia dalam PRB. Ketiga adalah investasi. Daerah yang belum jelas program kerjanya akan sulit mendapatkan dana sehingga sulit untuk membangun infrastruktur pasca bencana.

Hal itu perlu pendekatan kultural untuk mengubah kebiasaan masyarakat serta membangun wilayah rawan bencana menjadi destinasi wisata sehingga bisa produktif. “Tidak hanya fisik yang aman tetapi juga menguntungkan. Itu perlu peran aktif pemerintah daerah sehingga tidak dianggap supermarket bencana,” imbuhnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif