Redaksi Solopos.com / R. Bambang Aris Sasangka | SOLOPOS.com
Hal seperti ini ternyata sering pula terjadi di negara maju seperti di kawasan Eropa. Bedanya, di sejumlah negara, pemerintah atau institusi kesehatan melakukan tindakan nyata untuk mencegah bayi meninggal sia-sia. Dibuatlah sistem boks penyerahan bayi. Orangtua yang mau melepas bayinya tinggal meletakkan si mungil ke dalam boks yang biasanya berada di dinding salah satu sudut rumah sakit atau klinik. Boks berbentuk seperti laci itu sudah dilengkapi penghangat dan kasur. Tak ada penjaga di situ, hanya ada kamera pemantau dan alarm yang otomatis akan memberi sinyal kepada petugas rumah sakit atau klinik bahwa ada bayi yang diletakkan di dalamnya.
Sebenarnya model kotak untuk menaruh bayi ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Di abad ke-12, Gereja Katolik pernah mengeluarkan kebijakan bahwa bayi hasil hubungan gelap lebih baik dilepaskan ketimbang dibunuh. Gereja di Italia pun membuat sistem penyerahan di gereja, di mana bayi yang mau dilepaskan orangtuanya diletakkan lewat sebuah jendela bundar di dinding gereja. Ada lonceng yang terpasang, sehingga orang yang meninggalkan bayi bisa memberi kode pada pengurus gereja.
Praktik ini segera menyebar ke seluruh Eropa hingga abad ke-19, namun kemudian menyurut. Belakangan, setidaknya selama 10 tahun terakhir, layanan seperti ini kembali marak dimanfaatkan. Salah satunya di Jerman. Di negeri ini boks penyerahan bayi disebut babywiege, yang artinya ayunan bayi. Salah satunya adalah di Rumah Sakit Waldfriede di salah satu sudut pinggiran Berlin. Letaknya di sebuah sudut sunyi rumah sakit itu, di dekat taman.
Memang sistem boks ini masih menjadi kontroversi. Pihak yang menentang antara lain mengutip Pasal 7 Konvensi Hak Anak PBB, yang menyebut bahwa setiap anak berhak dan wajib mendapatkan kasih sayang dan pemeliharan orangtua, sehingga upaya untuk meninggalkan atau membuang anak merupakan pelanggaran serius. Ada juga yang khawatir keberadaan boks ini disalahgunakan sehingga orang dengan bebas melakukan hubungan seksual karena mereka bebas melepaskan bayi yang lahir dari hubungan itu, baik dengan sukarela maupun paksaan seperti dalam kasus-kasus pelacuran.
Di lain pihak, mereka yang mendukung menyatakan boks itu lebih menjamin hak hidup bayi yang tak berdosa dari penelantaran. Atau, untuk mencegah terjadinya pembunuhan karena kelahiran yang tak diinginkan.
Maria Herczog, seorang psikolog yang menjadi salah satu anggota Komisi Hak Anak PBB, merasa yakin bahwa boks penyerahan bayi itu tak boleh jadi andalan. Lebih baik, kata dia, adalah membangun kepedulian dan menyediakan bantuan bagi para perempuan yang secara terpaksa mengandung. “Kotak penyerahan bayi itu tetap saja memberikan pesan yang salah, yaitu perempuan boleh mengandung dengan bebas, melahirkan dalam kondisi kepepet dan lantas meninggalkan bayi mereka,” ujarnya.