News
Jumat, 18 Januari 2013 - 14:36 WIB

Babak Baru Bekas Pejuang Maoist Nepal

Redaksi Solopos.com  /  Laila Rochmatin  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Pawan Kumar Bogati sedang sibuk mengasah pisaunya untuk mengambil madu dari sarang lebah. Laki-laki berusia 29 tahun ini bersama tiga tetangganya, mengenakan topi putih khusus, siap untuk memanen madu.

Pawan kini bekerja menjadi petani lebah, sebuah profesi yang baru saja dipelajarinya. Selama lima tahun terakhir, ia bergabung dalam Pasukan Pembebasan Rakyat, sayap militer Partai Komunis Nepal (Maoist).
“Banyak teman yang meninggal di depan mata saya. Saya bekerja di bidang kesehatan. Jadi kami harus mengobati para pejuang yang terluka. Tapi obat-obatan dan peralatan kami terbatas jadi kami tidak bisa menyelamatkan nyawa mereka,” ujar Pawan.

Advertisement

Sudah enam tahun berlalu sejak Kesepakatan Perdamaian Menyeluruh di Nepal ditandatangani. Kesepakatan ini menandai berakhirnya perang sipil Nepal.
Berdasarkan kesepakatan itu, bekas pejuang Maoist diberi dua pilihan bergabung dengan militer atau pensiun.

Sejak tahun lalu, seribu pejuang Maoist bergabung dalam militer Nepal dan kini mereka sedang ikut pelatihan.
Namun, sebagian besar anggota Maoist yang mencapai 14.000 orang, secara sukarela memilih pensiun. Mereka diberi bantuan oleh pemerintah untuk memulai hidup baru.

Advertisement

Sejak tahun lalu, seribu pejuang Maoist bergabung dalam militer Nepal dan kini mereka sedang ikut pelatihan.
Namun, sebagian besar anggota Maoist yang mencapai 14.000 orang, secara sukarela memilih pensiun. Mereka diberi bantuan oleh pemerintah untuk memulai hidup baru.

Perang Sipil Nepal adalah konflik bersenjata antara pasukan pemerintah dan pejuang Maois yang dimulai 1996. Lebih dari 15.000 orang tewas dan diperkirakan 150.000 orang terpaksa mengungsi selama perang berlangsung. Konflik itu berakhir ketika Kesepakatan Perdamaian Menyeluruh ditandatangani 2006.

Pawan adalah satu dari 14.000 pejuang lainnya yang memilih pensiun secara sukarela. “Saya mendapat beberapa keahlian saat tinggal di barak. Saya yakin bisa melakukan hal lain diluar kemiliteran. Saya pikir lebih baik jadi warga sipil dari pada anggota militer. Dan juga proses penyatuan ke militer tidak berjalan baik. Itu sebabnya saya memilih pensiun,” tutur Pawan.     Ia mendapat bantuan dari pemerintah lebih dari Rp 100 juta.
“Dengan uang itu kami membeli tanah dan membangun rumah kecil. Saya masih menyimpan uang untuk memulai bisnis saya sendiri. Saya menjadi petani lebah untuk mendapat uang.”

Advertisement

Subash Dangi, 43, warga lama di desa ini mengatakan, penduduk desa menyambut baik tetangga baru mereka itu.

“Ada banyak bekas pejuang di sini yang memulai beragam pekerjaan. Mereka sadar kalau sekarang harus kerja demi masa depannya dan politik tidaklah cukup sebagai modal untuk bertahan hidup. Beberapa bahkan sudah punya pabrik kecil atau memulai bisnis sendiri. Mereka jadi mandiri dan itu hal bagus dan harus kita hargai. Kami bisa belajar dari kerja keras mereka.”
Chitra Bahadur Chaudary, 32, sedang memasak makanan bagi para tamu di tempat penginapan barunya. Dulu ia adalah salah satu pemimpin di perusahaan milik Maoist.

Selama konflik bersenjata, Maoist kerap menghancurkan hotel dan menuduh mereka menjual minuman beralkohol. Tapi kini, Chitra dan istrinya Rama menjalankan bisnis penginapan.

Advertisement

“Setelah pensiun, kami pikir bisnis hotel adalah cara mudah untuk menghasilkan uang. Kami menjalankan penginapan ini di desa, bukan di kota besar. Kami berharap bisa dapat Rp 500 ribu hingga Rp 600 ribu per hari tapi saat ini hanya dapat Rp 100 ribu per hari. Keadaan belum begitu bagus bagi kami saat ini.”
Tapi Chitra tidak menyesali pilihannya.

“Saya tidak lagi tertarik dengan politik, walaupun partai kerap meminta saya menghadiri pertemuan mereka. Saya bilang tidak. Kami hanya diperalat oleh para pemimpin Maoist. Saya ingin bekerja di luar negeri. Paspor saya sudah siap dan saya berencana mencari pekerjaan di Malaysia atau di salah satu negara Teluk.”
Tapi bagi yang lain, kehidupan saat ini jauh lebih baik dari sebelumnya.
Pawan dan Sonu sudah mengumpulkan 40 kilogram madu hari ini. Ia berencana menjualnya ke pasar terdekat dengan harga mencapai Rp 800.000.

“Hidup saat ini sangat nyaman. Saya punya seorang anak perempuan dan saya bekerja untuk keluarga saya. Masyarakat lokal sangat mendukung dan memuji kami. Sekarang saya ingin berkonsentrasi pada masa depan putri saya,” ujar Pawan.
Artikel ini pertama kali disiarkan di Asia Calling, program radio aktual dari kawasan Asia yang diproduksi KBR68H, kantor berita radio independen di Indonesia. Asia Calling disiarkan dalam bahasa lokal di 10 negara di Asia. Temukan cerita lainnya dari Asia Calling di www.asiacalling.org.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif