Redaksi Solopos.com / Indah Septiyaning Wardani | SOLOPOS.com
Bahasa tersebut di antaranya seperti bahasa hukumina dan mapia, tandia, kayeli, bonerif, naka’ela, dusner serta bahasa langilu, hoti, hulung, kemarian, nusa laut, piru, kanum, badidan saponi yang sudah sekarat. Sehingga sangat sulit untuk diselamatkan.
“Dalam kondisi ini untuk bahasa-bahasa yang penuturnya minim terpaksa diinventarisasi serta direkam saja. Bahasa ini tidak perlu diperhitungkan untuk pembangunan karakter bangsa, tapi disimpan sebagai khasanah budaya,” ujar pengamat bahasa dari Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Multamia RMT Lauder dalam Seminar Nasional Majelis Bahasa Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia (Mabbim) “Meningkatkan Peranan Bahasa Indonesia/Melayu dalam Penguatan Jati Diri Bangsa” di ruang seminar Fakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR), Kamis (22/7).
Dia mengatakan sekurang-kurangnya terdapat kesepakatan antara ahli bahasa bahwa di Indonesia terdapat 13 bahasa daerah terbesar dengan penuturnya minimal satu juta jiwa. Ke-13 bahasa itu yaitu Jawa, Sunda, Melayu, Madura, Minangkabau, Batak, bali, Bugis, Aceh, sasak, Makasar, Lampung dan Renjang.
Dia menjelaskan bahasa daerah merupakan salah satu sarana pendidikan dini sebagai landasan pengembangan pemerkayaan perbendaharaan bahasa Indonesia. Selain itu sebagai salah satu unsur jati diri bangsa. “Hal ini tertera jelas di UU No 4/1950 pasal 5 ayat 1 yang menetapkan guru diperbolehkan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pada tiga kelas terendah di sekolah dasar (SD-red),” jelasnya.
Sementara Kabid Pengembangan Bahasa dan Sastra Pusat Bahasa Sugiyono menuturkan bahasa daerah merupakan basis untuk pembentukan pemenuhan karakter jati diri bangsa. Sedangkan bahasa Indonesia berfungsi sebagai perekat masyarakat nasional. Idealnya, dia menuturkan masyarakat Indonesia harus mampu menguasai tiga bahasa, yakni bahasa Indonesia, bahasa daerah dan bahasa asing.
isw