Kolom
Selasa, 19 Maret 2024 - 12:45 WIB

Kekuatan Ekonomi Takjil

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Hijriyah Al Wakhidah (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Pukul 17.10 WIB pada hari pertama puasa, Selasa (12/3/2024), saya menyambangi salah satu pusat takjil di wilayah Kabupaten Boyolali. Saya kira pukul 17.10 WIB adalah waktu ideal untuk berburu takjil, 50 menit menjelang saat berbuka puasa.

Senja belum terlalu surut, ratusan orang masih lalu lalang dan bikin laju kendaraan di kawasan itu padat merayap. Sayang sekali, tiga lapak sayuran matang dan takjil yang saya hampiri sudah menumpuk belasan wadah makanan kosong lantaran sudah laku. Wadah-wadah kosong ditata di tepi lapak.

Advertisement

Sampun telas, Mbak,” tutur si ibu penjual sembari menawarkan satu bungkus plastik kolak yang masih tersisa.

Dia sibuk menghitung uang hasil berjualan yang dikumpulkan dalam keranjang plastik yang juga biasa dipakai untuk wadah makanan. Sambil melirik ekspresi wajah si ibu yang terlihat sangat gembira dengan hasil berjualan sore itu, saya menjawab sambil berlalu.

Advertisement

Dia sibuk menghitung uang hasil berjualan yang dikumpulkan dalam keranjang plastik yang juga biasa dipakai untuk wadah makanan. Sambil melirik ekspresi wajah si ibu yang terlihat sangat gembira dengan hasil berjualan sore itu, saya menjawab sambil berlalu.

”Baiklah. Satu bungkus kolak ini saya ambil ya, Bu,” kata saya.

Dengan sedikit kecewa karena hampir kehabisan, dalam hati saya juga bergumam, sepertinya belum terlalu sore, baru pukul 17.10 WIB, kenapa semua makanan di lapak-lapak takjil itu sudah habis atau hampir habis?

Advertisement

Pada Ramadan tahun lalu, survei Kurious dari Katadata Insight Center (KIC) menunjukkan mayoritas responden atau 46,7% dari total responden mengeluarkan uang Rp20.000–Rp40.000 untuk membeli takjil.

Responden yang membeli takjil di bawah Rp20.000 hanya 25,2% sedangkan di atas Rp40.000 hingga Rp60.000 sebanyak 17,5%.  Survei yang melibatkan responden sebagian besar di wilayah Jawa itu menyebut ada masyarakat yang mau menghabiskan uang hingga lebih dari Rp100.000 untuk berbelanja takjil, yakni 3% responden.

Dari nilai belanja rata-rata responden itu tentu kita bisa melihat nilai perputaran uang di sektor UMKM, khususnya kuliner, bergerak luar biasa saat Ramadan. Di Kota Solo, kita bisa melihat hampir setiap sudut kota, sudut kampung, hingga sudut gang, menjelma menjadi pasar takjil.

Advertisement

Begitu pula di kawasan satelit yang secara ekonomi juga tengah berkembang, makin bergeliat saat Ramadan. Kawasan Balai Kota Solo, halaman Gedung Wanita Manahan, Jl. Garuda Mas Kartasura, dan kawasan depan De Tjolomadoe di Colomadu, Karanganyar adalah sebagian sentra jual beli takjil.

Berikutnya adalah kawasan Galabo, Alun-alun Kidul Keraton Solo, pasar Masjid Jayengan/Masjid Darussalam, Jl. Jaya Wijaya (Mojosongo, Solo), kawasan Sekip (Banjarsari, Solo), Bendung Tirtonadi, kawasan UMS, Kampung Ramadan Semanggi, Kampung Ramadan Laweyan, bulevar UNS, seputaran Bandara Adi Soemarmo, Waduk Cengklik, dan halaman Masjid Raya Syaikh Zayed Solo.

Takjil di Masjid Raya Syaikh Zayed Solo diberikan gratis kepada masyarakat, namun banyak UMKM yang terlibat dalam penyediaan takjil itu. Aktivitas jual beli takjil dan dampaknya terhadap geliat ekonomi tidak bisa dipandang sebelah mata.

Advertisement

Perputaran uang dari menjual takjil bisa dibilang sangat besar. Misalnya seorang pedagang menyiapkan kolak pisang. Satu bungkus dijual Rp2.000–Rp3.000. Apabila penjual tersebut menyiapkan 100–200 bungkus, penjualan mencapai Rp400.000–Rp600.000.

Jika dalam satu kawasan terdapat 10—15 orang yang berjualan kolak, perputaran uang bisa mencapai Rp4 juta hingga Rp9 juta. Kita bisa menghitung dari sedikitnya 15 pusat takjil di Kota Solo dan sekitarnya yang disebutkan di atas–minus Masjid Raya Syeikh Zayed–maka dari kolak saja perputaran uang bisa mencapai Rp60 juta hingga Rp135 juta.

Itu baru dari kolak pisang. Kita belum menghitung menu lain, seperti gorengan, kue basah, jajan pasar, hingga masakan siap santap yang bisa dipastikan nilai atau harga per item serta volume penjualan lebih tinggi daripada kolak.

Masjid Raya Syeikh Zayed sebagai pusat berburu takjil dan buka bersama menggandeng sedikitnya 20 pelaku UMKM untuk menyediakan menu berbuka puasa dan 80 UMKM untuk menyediakan takjil.

Jika rata-rata tiap hari mereka bisa bisa menyajikan 7.000 porsi makan dan 7.000 porsi takjil, dengan kisaran nilai per porsi Rp25.000 dan Rp 3.000 untuk takjil, uang yang berputar di kalangan UMKM ini bisa mencapai Rp190 juta hingga Rp200 juta per hari.

Berapa total untuk satu bulan? Nilanya Rp5,7 miliar hingga Rp6 miliar. Ramadan memang selalu menjadi momentum yang dapat mempercepat perputaran ekonomi. Takjil adalah bagian kecil dari tradisi Ramadan yang menggerakkan ekonomi nasional dari segmen UMKM.

Kita belum berbicara tentang belanja kebutuhan Lebaran hingga belanja angpao dan tunjang hari raya atau THR. Berdasarkan catatan Bank Indonesia (BI) Solo pada momentum Ramadan dan Lebaran tahun lalu, perputaran uang di Soloraya mencapai Rp6 triliun.

Kita tahu pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2023 berada di angka 5,05%,  melambat dibandingkan pada 2022 yang sebesar 5,31%.  Lewat tradisi takjil Ramadan ini, UMKM yang menguasai 61%  produk domestik bruto (PDB) nasional diharapkan mampu menciptakan kejutan membalikkan data perlambatan ekonomi yang terjadi pada 2023.

Kejutan dan keajaiban dari tradisi pasar takjil tahun ini semoga memenuhi ekspektasi dan optimisme proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2024 sebesar 5,16%.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 16 Maret 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif